Tahun Baru: Refleksi Untuk Resolusi & Aksi
Teguh Triwiyanto. Kegembiraan muncul di akhir tahun. Sepertinya 11 bulan lampau sudah jadi ingatan, yang pendek, rapuh tidak terawat, dan mudah lupa. Padahal ingatan kerap jadi sumber kebajikan, ingat dengan jargon untuk melawan lupa. Ingatan sering berumur pendek. Target baru, tujuan baru, dan harapan baru diarahkan untuk 12 bulan ke depan.
Tapi apakah pemicunya, sehingga perlu ada
kegembiraan di masyarakat. Apakah tahun depan lebih baik, atau tahun yang akan
kita tinggalkan sudah berlebih target dari tujuan perencanaan. Refleksi untuk
resolusi & aksi jadi salah satu pilihan saat ini.
Masyarakat akhirnya dapat merayakan
natal dan tahun baru 2022, walaupun pandemi belum berakhir. Muktamar NU di
Lampung tetap dilaksanakan, tidak ada lagi gegeran. Semua tetap dengan protokol
kesehatan. Pemerintah bijaksana. Rakyatnya lebih arif. Ini sumber kegembiraaan
masyarakat.
Memang setelah tiga minggu, tingkat
kematian akibat Omicron tidak lebih dari dua persen, seperti Covid-19. Pandemi
terkendali sejak Agustus. Memberikan sinyal positif untuk membatalkan
PPKM natal dan tahun baru. Sekolah dan kampus mulai mengadakan pembelajaran tatap
muka terbatas. Tanda-tanda ini juga sumber kegembiraan lainnya di masyarakat.
Selain kegembiraan, akhir tahun menjadi
waktu tepat melakukan refleksi, untuk resolusi dan aksi tahun mendatang. Bahwa
kesadaran manusia di bentuk karena realitas individu dan sosialnya. Kesadaran
dan sikap kolektif individu yang kritis transformatif menjadi modal sosial
positif hidup bermasyarakat & berbangsa.
Kritis Transformatif
Di penghujung bulan yang sama seperti
sekarang, tahun 2019 saat itu, ada warga Indonesia tidak atau menolak
percaya wabah akan sampai di sini. Informasi yang begitu massif tentang Wuhan,
ternyata juga tetap membuat bergeming. Termasuk berapa aparat pemerintah.
Akhir tahun 2019, Kompas (25/12/2019)
berita utamanya masih bertajuk arus balik terjadi tanggal 30 Desember sampai 1
Januari 2020. Saat itu ancaman pandemi mengintai di pintu Indonesia. Tanggal 2
Maret 2020 kemudian Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya warga Indonesia
terkonfirmasi positif Covid-19. Genderang melawan pandemi di mulai.
Pandemi mestinya diikuti sikap kritis
individu, masyarakat, dan aparat pemerintah. Kritis ditandai dengan evaluasi
dan penilain yang tepat. Berfikir kritis berarti mampu memahami dan menangani
situasi berdasarkan fakta dan informasi tersedia.
Radu Atanasiu (2021) menyebut berpikir
kritis berguna untuk menganalisis informasi yang masuk dalam konteks
pengambilan keputusan dan sangat penting untuk menyusun informasi yang keluar
dalam konteks persuasi.
Awal tahun 2020 itu, sebagian besar
maasyarakat dan aparat pemerintah masih dengan euphoria target baru, tujuan
baru, dan harapan baru. Artinya, pada saat itu kita kurang mampu memahami dan
menangani situasi berdasarkan fakta dan informasi tersedia. Terasa sekali
penanganan di awal pandemi diwarnai berbagai kebijakan pemerintah yang gagap. Kasus
pernyataan pemimpin berapa kali menjadi keruh suasana.
Masyarakat tidak kurang, juga menghadapi
berbagai misinformasi, rumor, gosip, dan hoax
yang berseliweran diberbagai kanal media sosial. Isinya mengenai etiologi,
hasil, pencegahan, dari penyakit tersebut. Beban masyarakat semakin bertambah
berat.
Samia Tasnim (2020) menyebutkan
penyebaran informasi salah semacam itu menutupi perilaku sehat dan
mempromosikan praktik salah yang meningkatkan penyebaran virus. Pada akhirnya
mengakibatkan hasil kesehatan fisik dan mental yang buruk di antara individu.
Karakter, pandangan, dan kondisi
sebagian besar masyarakat Indonesia masih diselimuti berbagai kebimbangan.
Sikap transfomatif, perubahan radikal dan positif, setelah hampir dua tahun
pandemi, juga belum banyak berubah. Budaya, ekspresi sosial, dan politik belum
memperlihatkan masyarakat transformatif yang ideal. Masyarakat yang terus
menerus terdorong memajukan pengetahuan, untuk menyelesaikan persoalan dalam
berbagai konteks.
Resolusi & Aksi
Awalanya bangsa Babilonia, 4.000 tahun
lalu, resolusi tahun baru muncul. Praktik serupa terjadi di Romawi pada 46 SM,
awal tahun 1 Januari. Personifikasinya Janus, yang secara simbolis bisa melihat
ke belakang dan ke depan sekaligus. Saat itu, persembahan dilakukan dengan
janji untuk memperbaiki perilaku tahun mendatang.
Pengarang Catherine Pulsifer, menyatakan
resolusi adalah keputusan tegas untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kata kuncinya keputusan tegas. Membutuhkan tindakan dan menetapkan tenggat
waktu, tetapkan tujuan.
Tidak ada resolusi tanpa rencana aksi. Masyarakat
membutuhkan pandu untuk melakukan aksi, paling tidak satu tahun ke depan. Pandu
datang dari para pemimpin bangsa, yang menyelesaikan berbagai masalah, karena
rakyat berbicara dengan masalah. Para pemimpin harus mampu mendorong sikap
kolektif individu yang kritis transformatif menjadi modal sosial positif hidup bermasyarakat
& berbangsa.
Dampak besar dirasakan hampir semua
masyarakat, pada pelbagai bidang. Bidang sosial, politik, lingkungan, ekonomi,
dan aktivitas manusia apa pun, seperti seperti pendidikan, kesehatan, industri,
perdagangan, pariwisata, peternakan, pertanian, transportasi, perikanan,
pertambangan, dan lain-lain. Premis untuk setiap tindakan para pemimpin yaitu melindungi
kesehatan, keselamatan, pendidikan, dan pangan rakyatnya.
Pandemi telah mengubah rutinitas hidup
sehari-hari masyarakat dan berbagai tantangan sosial lainnya. Berbagai
tantangan dan stresor terjadi pada individu, keluarga, siswa, petugas medis,
dan lainnya, terkait erat dengan kesehatan emosional dan fisik. Kerangka
aksinya, mengidentifikasi faktor-faktor penting yang perlu ditangani untuk
mengurangi potensi dampak buruk dari krisis dan berbagai alternatif jalan
keluar.
Mitigasi pandemi masih mendesak
dilakukan satu tahun ke depan. Obat yang belum ada, vaksinasi yang belum
mencapai 70 persen penduduk, varian virus baru yang terus bermunculan, dan
tekanan ekonomi yang belum selesai menjadikan kita tetap perlu waspada. Praktik kesehatan masyarakat,
infrastruktur kesehatan, kolaborasi lintas sektor, dan mobilisasi kemitraan
masyarakat menjadi kebutuhan mendesak diperbaiki, menjadi aksi nyata satu tahun
ke depan.
Menjaga kematian serendah mungkin,
menjadi prioritas tertinggi setiap individu. Harusnya masyarakat dan negara
juga demikian. Sementara itu, pemerintah perlu menempuh langkah-langkah
memperbaiki kemerosotan ekonomi yang saat ini tidak terhindarkan.
Tahun depan, semakin mendekati tahun
politik. Pemilihan umum perlu juga menjadi lokus perhatian sendiri. Populisme
yang menginfeksi para politisi, sepanjang tahun lalu melalui berbagai baliho,
hanya memiliki daya tarik terbatas. Bukan tidak mungkin, tahun depan semakin
mengeras dan terpolarisasi.
Kepemimpinan terbaik pada semua level
dan bidang tercermin pada sikap yang proaktif, menegaskan tata kelola krisis,
bertindak cepat, komunikasi efektif, realistik, dan optimis. Situasi saat ini,
benar-benar menguji kepemimpinan politik. Beberapa kepemimpinan politik kuat
dan menyatukan, sementara yang lain gagal.
Terakhir, dimensi pandemi membutuhkan
pemanfaatan dari semua sistem pengetahuan yang tersedia, tidak sekedar nasional
tetapi global. Strategi pragmatis menjadi aksi implementasi segera.
Comments
Post a Comment