Liberalisasi Pendidikan
Berdasarkan realitas yang buruk itulah maka saya
konsisten sejak awal untuk terus melawan gelombang liberalisasi
pendidikan yang kian hari kian intens masuk menelisik dan merongrong semangat
pendidikan murah berkualitas, baik
melalui mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan anti privatisasi dan liberalisasi
di dunia pendidikan, maupun melalui penolakan terhadap regulasi yang cenderung
liberalistik, seperti UU Sisdiknas yang beberapa pasalnya sangat kuat nuansa
liberalistiknya, termasuk melahirkan konsep RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Interasional), privatisasi dan liberalisasi sejumlah PTN terkemuka, seperti UI,
UGM, IPB, dan ITB melalui perubahan bentuk dari PTN menjadi PT BHMN, serta perlawanan terhadap RUU hingga UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yang
akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 31 Maret 2010.
Perlawanan
panjang melawan gelombang liberalisasi pendidikan kadang selalu mendapat jalan
terjal, berliku dan ancaman. Senjata pengetahuan yang kuat dan komitmen gerakan
yang berintegritas menjadi pegangan utama melewan gelombang liberalisasi
pendidikan. Tidak cukup melawan liberalisasi pendidikan hanya disampaikan dalam
tulisan jurnal nasional dan
internasional atau didiskusikan dari forum akademik ke akademik lainnya.
Perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan selalu membutuhkan integritas kuat
untuk menolak ragam godaan saweran sana-sini dan siap dicampakkan
dalam kesunyian, jauh dari hingar
bingar liputan media masa, baik cetak maupun elekronik, terlebih televisi. Itu adalah bagian dari resiko yang harus diterima di tengah gelombang rezim liberalisme yang mengalir deras
dalam dunia pendidikan. Dan meskipun
gerakan itu punya dampak luas terhadap sosial kemanusiaan, tapi publik belum
tentu mengetahuinya. Sebagai contoh, penghapusan RSBI yang menimbulkan
kehebohan masyarakat, telah membuka ruang lebar bagi anak-anak golongan tidak
mampu untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang bagus tanpa
dibebani biaya yang tinggi, tapi publik tidak mengetahui bahwa penghapusan RSBI
itu adalah jerih payah dari perlawanan terhadap privatiasi dan lberalisasi
pendidikan yang cukup panjang. Semula orang hanya mengeluh soal RSBI yang
dinilai mahal dan diskriminatif, tidak ada niatan untuk melawannya melalui
jalur hukum. Barulah setelah awal 2011 saya menggalang kekuatan untuk
berkomunikasi dengan banyak pihak seperti LBH Jakarta, ICW, ELSAM, PSKH (Pusat
Studi Kebijakan Hukum), dan sejumlah individu yang aktif dalam gerakan pendidikan, muncul gagasan dan kemudian langkah kongkrit untuk
melakukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan akhirnya MK pun dalam Sidang
tanggal 8Januari 2013 membatalkan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI). MK juga membatalkan Pasal 50 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) yang menjadi dasar pembentukan RSBI dan SBI. Dengan dibatalkannya
oleh MK, maka ayat (3), pasal 50 UU Sisdiknas itu tidak memiliki kekuataan
hukum lagi.
Melalui pengantar buku ini saya
menyambut baik karya Teguh Triwiyanto ini, lantaran dia adalah pengajar di
Universitas Negeri Malanga (UM) yang mempunyai semangat progresif untuk
mengoreksi gelombang liberalisme pendidikan di tengah pragmatisme kehidupan kampus. Meskipun karya ini tidak
spesifik pada analisa gelombang liberalisasi pendidikan yang selama ini menggempur
perguruan tinggi—liberalisasi melalui UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang substansinya tidak jauh beda dari UU BHP, tapi paling
tidak Teguh Triwiyanto mulai berani keluar dari kesumpekan
akademik-birokratisasi kampus dan melihatnya dalam perspektif kritis, suatu sikap yang seharusnya menjadi ciri
khas orang kampus.
Globalisasi, meminjam istilahnya James Petras (2008) tidak lebih euphemisme, penghalusan atau justru penyesatan makna, untuk mengatakan strategi “pengkaplingan” kembali dunia antar para kekuatan beesar ekonomi dunia, kini sudah mulai merambah lembaga pendidikan tinggi yang ditandai dengan berlomba-lombanya mereka menjadi World-Class University, tanpa mempertimbangkan kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya di mana perguruan tinggi itu berada. Pengelolaan pendidikan telah terjebak pada paradigma rangking yang dibuat oleh mereka yang tidak bergelut dalam pengelolaan pendidikan tinggi dengan kriteria yang bias kapital dan negara-negara maju.Sementara pendidikan tinggi kita memiliki sejarah sebagai bagian dari perjuangan bangsa, sehingga tugas utamanya semestinya mencerdaskan masyarakat dan bangsa agar dapat terlepas dari penjajahan ideologi, politik, ekonomi, dan budaya. Saat ini kita memang menjadi negara secara politik, tapi ideologi, ekonomi, dan budaya kita terjajah oleh bangsa-bangsa lain. Celakanya, birokrat pendidikan juga tidak punya kesadaran kritis –sangat mungkin mereka tidak pernah membaca sejarah lahirya perguruan tinggi di Indonesia—sehingga mereka cenderung membuat regulasi yang lebih mendukung proses-proses kapitalisasi dan libaralisasi pendidikan tinggi. Persyaratanuntuk menjadi profesor pun bukan pada kemampuan seorang doktor dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat, agar masyarakat cerdas dalam bertindak. memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi, serta berdaulat dalam bidang politik, serta berkarakter dalam bidang kebudayaan sehingga tidak muncuk tindakan persekusi, tapi lebih ke menulis di jurnal internasional. Peraturan tersebut tentu dapat melahirkan distorsi akademik ketika begitu banyak calon profesor yang harus menulis di jurnal internasional, sementara jumlah jurnal yang terakreditasi terbatas.
Marilah kita bertanya secara kritis: “Apalah artinya mampu menulis di jurnal internasional,
sementara sebagian masyarakatnya tidak mampu baca tulis? Kebutuhan untuk
mencerdaskan masyarakat di kampung-kampung, pedalaman, dan pesisir agar mereka
bisa lepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan jauh lebih
penting bagi PTN/PTS kita daripada mengejar ranking yang kriteria
perangkingannya belum tentu relevan dengan kehidupan riil kita. Kebijakan
pendidikan tinggi kita tidak boleh terjebak pada ranking, apalah artinya
ranking dibandingkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat? (Darmaningtyas, “Jebakan Pemeringkatan”, Tempo,
7 Juli 2015).
Teguh
Triwiyanto yang dalam Bab III membahas silang sengkarut tata kelola pendidikan tinggi memberikan
tambahan pada kita ihwal cengkraman liberalisasme pendidikan tinggi. Meskipun
bagian ini lebih banyak abstarksi-abstaksi akademis, tapi paling tidak ini bisa
membuka perspektif kita pengelolaan perguruan tinggi serta nasib ilmu dan
tekhnologi dalam bayang-bayang pengkaplingan negara dunia ketiga.
Selebihnya
buku karya Teguh Triwiyanto ini membahas tata kelola pendidikan dengan segala
aspek, mulai dari guru, kurikulum, saranan dan prasarana, manajemen berbasis
sekolah hingga pada aksesibiltas pendidikan. Poin utama dari pembahasan itu
berkaitan dengan aksesibilitas pendidikan bagi semua warga dan penguatan
pendidikan karakter yang berarti kualitas. Ketika membaca beberapa bab yang ada
saya langsung teringat dengan tema peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun
2017 kemarin, “Percepat Pendidikan yang
Merata dan Berkualitas”. Kata kunci pemerataan dan kualitas menjadi poin
penting dalam karya Teguh Triwiyanto.
Ketika
berbicara pemerataan pendidikan, maka tugas menggunung masih menunggu bagi
aktivis pro pendidikan rakyat. Komitmen pemerintah yang ditandai dengan minimnya anggaran dan
privatisasi pendidikan menjadi hambatan utama. Organisasi Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD=Organsation for Ecenomic Cooperation and Development)
mencatat, Amerika Serikat tergolong salah satu negara yang paling banyak
membelanjakan anggarannya untuk sektor pendidikan. Pada 2013, Amerika Serikat
membelanjakan 7,3% dari produk domestik brutonya untuk pendidikan. Hal itu juga
dialami oleh beberapa negara lain. Sedangkan untuk Indonesia, OECD mencatatat,
pada 2013 peringkat Indonesia berada di urutan ke 42 dari 42 negara yang
disurvei dalam hal alokasi anggaran persiswa pertahun, begitu juga dengan
pendidikan menengah dan atas (Republika, 06/04/2017).
Pelan-pelan
anggaran pendidikan itu mulai meningkat. Pada 2014, APBN mengalokasikan
anggaran pendidikan sebesar Rp. 371 Triliun. Pada 2016, anggaran pendidikan di
APBN naik menjadi Rp 419,2 triliun. Setahun kemudian, APBN 2017 mengalokasikan
anggaran pendidikan Rp.416,1 triliun. Meskipun anggaran pendidikan meningkat,
problem anak yang putus sekolah dan sekolah yang tidak layak masih menghantui dunia
pendidikan kita. Hal itu salah
satunya karena anggaran pendidikan yang tinggi itu lebih dari dua pertiganya
untuk gaji guru dan dosen. Makin banyak guru dan dosen yang tersertfikasi,
makin besar anggaran pendidikan yang akan tersedot untuk gaji guru dan dosen.
Berdasarkan
Ikhtisar Data Pendidikan Kemdikbud Tahun 2015/2016, siswa yang lulus SD tetapi
tidak melanjutkan ke SMP mencapai 946.013
orang. Ditambah dengan jumlah siswa yang melanjutkan ke SMP tetapi tidak lulus
(51.541 orang), maka ada 997.554 anak Indonesia yang hanya berstatus tamatan SD
pada 2015/2016. Situasi cukup memprihatinkan karena ada 68.066 anak lainnya
yang bahkan tidak melanjutkan studi di SD pada 2015/2016. Kalau hal ini terus
terjadi setiap tahun dan tidak dilakukan terobosan, jumlah orang Indonesia yang
maksimal hanya memegang ijazah SD terus meningkat. Adapun siswa yang lulus SMP
tetapi tidak melanjutkan studi ke SMA/SMK ialah 99.406 orang. Ditambah dengan
jumlah siswa SMA/SMK yang gagal melanjutkan studi (118.353 orang), maka total
warga Indonesia yang hanya memegang ijazah SMP pada 2015/2016 ialah 217.759
orang. Padahal, SDGs 2030 menghendaki
agar pada tahun 2030 seluruh warga dunia bisa mengenyam pendidikan hingga SMA/
SMK. Ironisnya, dari survei BPS (Badan Pusat Statistik), sekitar 73 persen
kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi (Kompas, 8/September/2016).
Tingginya
angka putus sekolah untuk tingkat SMA menempatkan Indonesia menduduki posisi
dua tertinggi sedunia, hanya berada di bawah China. Menurut laporan terbaru Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD), Education at
Glance 2015, menyebutkan, persentase masyarakat suatu negara yang
menyelesaikan pendidikan menengah, yaitu setara SMA, bervariasi pada berbagai
negara. Kegagalan menyelesaikan pendidikan menengah ini dapat menyebabkan
kesulitan tersendiri dalam mencari pekerjaan. Berikut data persentase negara
dengan tingkat putus SMA tinggi di dunia: (1) China - 64 persen, (2) Indonesia
- 60 persen, (3) Meksiko - 54 persen, (4) Turki - 50 persen, (5) Brasil - 39
persen, (6) Spanyol - 34 persen, (7) Italia - 26 persen, (8) Afrika Selatan -
23 persen, (9) Norwegia - 19 persen, (10) Prancis - 15 persen, (11) Inggris -
14 persen, (12) Australia - 13 persen, (13) Jerman - 13 persen, (14) Amerika
Serikat - 10 persen, (15) Irlandia - 10 persen, (16) Kanada - tujuh persen,
(17) Korea Selatan - tujuh persen (http://news.okezone.com,
23/Desember/2015).
Melihat fenomena tersebut, maka tak
heran ketika Sri mulyani Indrawati mempersoalkan efektifitas anggaran dalam
pidato acara Peluncuran Laporan Ketimpangan yang INFID dan Oxfam, kamis (23/2 2017) di Jakarta, “Apakah kita menikmati mutu pendidikan yang
lebih baik atau lebih buruk, saya tidak tahu. Apakah tidak menyedihkan ketika
sekarang anggaran pendidikan sudah naik menjadi Rp. 400 triliun, tetapi masih ada saja pemberitaan tentang bangunan
sekolah tak beratap atau anak-anak bersekolah di kelas yang sama sekali tidak
representatif.” (Kompas, 24/02/2017).
Ketika komitmen untuk menghidupkan
mendidikan lenyap, maka kualitas pun sulit dijangkau. Cukup tepat apabila Winarno Surakhmad (2009)
menegaskan. “Apakah sumbangan pendidikan
sejauh ini ? nihil…sekarang ini hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan
bahwa bangsa telah pernah besar atau dibesarkan oleh pendidikan di masa lalu.”
Itulah salah satu kritik lanjutan dari pedagog besar yang mendapat julukan
“Prof. Kandang Ayam.” Pernyataan tersebut masih cukup relevan di tengah
anggaran besar untuk dunia pendidikan tetapi kualitas SDM-nya masih jalan
ditempat, untuk mengatakan mengalami kemunduran bagi bangsa besar seperti
Indonesia dengan usia kemerdekaan yang lama. Peringkat pertama indeks
pembagunan manusia (IPM) adalah Singapura (0,912), Brunei (0,856), Malaysia
(0,779), dan Thailand (0,726). Indonesia hanya unggul dari Filiphina (0,668),
Vietnam (0,666), Laos (0,575), Kamboja (0,555), dan Myanmar (0,436). Ini
sepertinya menunjukkan pengaruh dari alokasi 20 persen anggaran sektor
pendidikan belum signifikan. Data World Economic Forum
(WFE) 2016- 2017 bahkan menunjukkan peringkat sumber daya manusia (SDM)
Indonesia merosot tajam. Dari urutan 37 pada tahun 2015 menjadi 41 di 2016. Indonesia kalah peringkat
dibanding Malaysia di peringkat 25. Atau juga Korea Selatan (26), China (28),
Jepang (8), dan Thailand (34) (Suara
Merdeka, 23/02/2017).
Di tengah-tengah persoalan pelik
dunia pendidikan, buku Teguh Triwiyanto bisa menjadi tambahan perspektif untuk
melihat persoalan pendidikan secara lebih kritis. Teguh Triwiyanto yang
mempunyai kompetensi akademik dalam bidang tata kelola pendidikan mencoba
menelanjangi tata kelola pendidikan yang pelan-pelan mulai terjebak dalam
cengkraman liberalisme. Saya ucapkan selamat untuk Teguh Triwiyanto. Semoga
terus kritis dan tidak lelah
memperjuangkan pendidikan murah berkualitas yang bisa diakses semua warga
negara Indonesia. Kunci keberhasilan
pembangunan bangsa ini adalah adanya ruang bagi kaum miskin dan bodoh untuk
dicerdaskan oleh negara, tidak seperti sekarang ini, negara justru
terkonsentrasi membiayai yang pintar dan kaya, sedangkan yang miskin dan bodoh
justru harus membiayai dirinya sendiri. Kebijakan yang tidak adil ini tidak
boleh dilanggengkan karena bertentangan dengan sila kelima Pancasila, yaitu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara semestinya mengambil
peran besar dalam mencerdaskan anak-anak yang miskin dan bodoh tersebut dengan
mendirikan sekolah negeri baru khusus mereka dan atau mensubsidi
sekolah-sekolah swasta yang menampung mereka. Kebijakan pendidikan yang
liberalistik cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial tersebut.
Ki Darmaningtyas, Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) di Yogyakarta
Comments
Post a Comment